Ketika Perfeksionis Mencoba Berhenti Menjadi Pretensius

Chan
5 min readSep 27, 2023
Source: unsplash.com

Kutebak kamu pernah menemukan seseorang yang super totalitas dalam setiap pekerjaannya. Ambisius, detail, rela mengusahakan apapun demi kesempurnaan. Apapun. Yah, at least hampir apapun deh!

Orang itu rela menguras energinya untuk bekerja dalam durasi yang lebih lama dibanding orang-orang pada umumnya. Ia biasa mempercayakan pekerjaan yang berat pada dirinya sendiri karena ia tahu ia (hanya) bisa mempercayai performa kerjanya. Ia juga ngga ragu mengulang langkah yang terasa kurang, berulang-ulang, sampai dirasa mampu mencapai standar kesempurnaan yang ia miliki yang mana itu saja sudah jauh lebih tinggi dari standar orang lain. Tipikal orang-orang gila yang kalau diajak kerja kelompok biasanya tugasnya ngga bakal bisa dinyatakan kelar sampai ia selesai menambah-nambahkan dan merombak-rombak bagian yang dikerjakan oleh anggota lain.

Pasti kamu pernah bertemu yang seperti ini kan? Setidaknya sekali seumur hidup — dengan beruntung atau sialnya —kamu pasti pernah menemukan orang seperti ini.

Kalau belum, kusarankan untuk mengucap alhamdulillah sekaligus astaghfirullah karena yang menulis tulisan ini adalah salah satu orang gila itu.

Salam kenal. Namaku Nurma, bisa dipanggil Chan. Dan aku mengidap penyakit perfeksionisme kronis.

Aku ngga tahu sejak kapan aku begini.

Entah ini berawal dari apa yang dimakan ibuku saat beliau mengandung atau, lebih jauh lagi, gen yang diwariskan orangtua, kakek nenek, dan leluhurku. Atau mungkin dulu ayahku bukannya mengadzaniku tetapi membisikkan mantra yang berbunyi, “Semoga anak saya tumbuh dengan sempurna. Selalu dapat nilai 100. Pintar matematika. Tidak terkena pergaulan bebas. Sukses bekerja sebagai dokter,” layaknya orangtua Asia pada umumnya…. I have no clue at all.

Kalau ditanya mengapa aku terobsesi pada yang sempurna-sempurna, jujur aku juga ngga tahu kenapa (?) lol

It just feels right. Memang seharusnya seperti itu. Terlepas dari apa yang kita pikir benar sering kali terasa berat, we still do it anyway.

Oke, kalau begitu apakah menjadi perfeksionis adalah hal yang menyenangkan melihat orang-orang tetap melakukannya meskipun berat? Is it fun? Does it feel good?

Wah… apabila menjalani kehidupan adalah bentuk praktik sadomasokisme, maka menjadi perfeksionis garis keras adalah salah satu cara untuk berpartisipasi dalam sadomasokisme yang hakiki.

But I’m not masochist enough to say that being perfectionist is fun :D

Meskipun begitu, tentu saja, ada beberapa keuntungan menjadi ̶m̶a̶s̶o̶k̶i̶s perfeksionis.

We produce high quality works. Perfeksionis ngga bakal puas kalau cuma bisa menghasilkan 100%. Kami akan selalu berusaha menghasilkan sesuatu semaksimal mungkin. Seteliti dan sedetail mungkin. We don’t want to miss anything. It’s not just perfect, we want it to be impeccably perfect. Dan untuk menghasilkan sesuatu yang cemerlang, kami tahu kami harus jadi tahan banting. Di satu sisi tekanan akan memberatkan, tetapi di sisi lain kami sedikitnya percaya bahwa tekanan itu adalah kebutuhan. We like to show off, we want to exceed your expectations. We will feel good if we get recognized for what we do (well, who’s not?). Tapi serius deh, meskipun mungkin penerimaan orang ngga selamanya sesuai dengan ekspektasi kami, setidaknya ngga pernah meleset jauh. Setidaknya kami berhasil membuktikan diri dan memberi makan ego kami.

…Aku kedengeran kaya misionaris sekte kepercayaan tertentu ngga sih haha! Yang mau join sekte perfeksionis bisa japri ^^

Yaa itu yang baik-baik dari menjadi perfeksionis. Sekarang kita bahas keluhan keluhan keluhan keluhannya.

Perfeksionis adalah mereka yang tertekan karena tekanan yang mereka berikan pada diri sendiri. Obsesi terhadap kesempurnaan bisa menjadikan seseorang stress brutal (contohnya adalah saya); tempo kerja menjadi lamban dan cenderung baru tuntas mendekati tenggat waktu yang diberikan (contohnya juga saya); terlihat rendah hati padahal sebenarnya rendah diri karena sangat tajam dalam melihat dan mengkritik kekurangan diri sendiri (siapa lagi kalau bukan saya haha).

Kalian yang pernah bekerja dengan kaum perfeksionis mungkin tahu betapa kerasnya perfeksionis. Bekerja dengan kami bisa jadi sebuah keberuntungan dan kesialan di saat yang sama. Namun, sekeras-kerasnya perfeksionis terhadap orang di sekitarnya, ia paling keras pada dirinya sendiri.

Tentu ini bukan usaha untuk menjustifikasi dampak buruk yang kami berikan pada lingkungan kerja kami. Aku hanya ingin mengatakan bahwa kami tidak luput dari neraka yang dirasakan oleh orang-orang di sekitar kami.

Sebagaimana yang mungkin beberapa dari kalian tahu, sejak pertengahan tahun lalu, aku mulai mengalami gejala gangguan mental dan secara rutin pergi ke psikiater. Ada banyak hal yang terjadi, yang sampai saat ini masih belum mampu aku utarakan seterang-terang dan seutuh-utuhnya dalam tulisan-tulisanku. Nevertheless, worry not since I’ve been feeling better and mentally quite stable these days. Setidaknya, sekarang aku sudah berfungsi layaknya manusia normal yang bisa makan, tidur, berpikir, dan bekerja. Dulu aku benar-benar tidak mampu untuk melakukan apapun. Sungguh.

Salah satu aspek yang terdampak besar adalah kemampuan kognitifku. Hingga saat ini berkonsentrasi dan mengingat sesuatu adalah hal yang masih sulit kulakukan. Akan tetapi ini bukan soal tidak mau, melainkan tidak mampu. Aku harap ada satu-dua dari pembaca yang memahami apa yang kumaksud.

Sulit bagiku untuk memproses informasi dan mensintesisnya sebagai gagasan baru yang kemudian dituangkan dalam bentuk tulisan. Sementara, tugas-tugas perkuliahanku menitikberatkan pada tulisan. Alhasil, ada beberapa mata kuliah di semester lima yang gagal aku usahakan karena kesulitan-kesulitan yang aku alami.

Dan kupikir di semester tujuh ini, satu tahun sejak pertama kali mengalami gangguan dalam diri, aku akan merasa lebih baik. Kupikir aku sudah siap menghadapi perkuliahan. Ternyata ngga juga /menghela nafas/

Sejak awal masuk kuliah di semester ini, aku kesulitan untuk tidur karena selalu merasa cemas. Setiap mengikuti kelas, aku berbicara dalam hati pada diriku sendiri bahwa sebaiknya aku tidak membuat kesalahan dalam kelas. Sesederhana mendapat respon tajam dari dosen di pertemuan pertama — yang artinya genap sebulan yang lalu — pun masih terpikir di benakku hingga saat ini dan entah sampai kapan nanti. Setiap tugas diberikan, aku kebingungan bagaimana mengerjakannya padahal aku sudah menghadiri kelas, menyimak, dan mencatat dengan seksama apapun yang dibahas oleh dosen dan rekan mahasiswa lainnya. Aku seperti tidak akan pernah mampu memberikan yang terbaik dalam kondisi ini.

Di luar dunia perkuliahan, sering kali aku merasa takut dan ragu. Ingatan tentang bagaimana aku jatuh, mengecewakan orang lain, dan mengecewakan diri sendiri terus tinggal di sudut benakku. Alhasil aku enggan menerima tawaran dan peluang baru. Kupikir aku tidak layak. Alhasil aku semakin meragukan diriku karena kupikir aku tidak mampu.

Di satu sisi, aku tahu aku masih dalam proses pemulihan. Di sisi lain, this kills my confidence.

Aku merasa amat bodoh, payah, dan tidak pantas.

Namun, jika aku terus mengulur waktu untuk mengerjakan tugas hanya karena aku tahu hasilnya tidak akan bagus, lalu apa?

Kalau targetnya adalah kesempurnaan, apakah aku harus memulai semua dari awal supaya benar-benar-benar siap?

Sampai kapan?

Apakah itu mungkin?

Enggan menghadapi kegagalan yang lebih menyakitkan dari ketidakmampuan menghasilkan yang terbaik, maka aku pun mencoba untuk mengendalikan kecenderungan perfeksionisku agar tidak lebih destruktif dari sebelumnya.

Kuputuskan:

Aku tidak akan menulis untuk terlihat keren. Aku akan menulis yang jujur.

I won’t try to impress anyone, not even my lecturer. Aku akan terus terang bahwa kemampuan dan usahaku hanya sampai sejauh ini. Selebihnya, aku belum mampu. Yang luput dari diriku saat ini adalah sesuatu untuk diresap dan dipahami olehku di masa depan.

Tentu, tidak mungkin bagiku untuk menghilangkan kebiasaan perfeksionisku seutuhnya. Attitude kerjaku masih sama. Yang berubah adalah cara pandangku.

Aku belum mampu menerima dan memaafkan kurangku, tetapi aku akan mencoba untuk melindungi diriku dari sakit dan luka yang tidak semestinya kuberikan padanya.

Karena aku tahu.

Dia telah dan akan senantiasa berusaha.

--

--