Recollecting: Courage

Chan
6 min readJan 14, 2023
Personal Denominator by Christine Ay Tjoe (ditampilkan di Artjog 2022)

Pada hari terakhir di tahun 2022, aku menangis setelah menonton The Devil Wears Prada.

[Trigger Warning: anxiety, depression, mental illness, self harm, suicidal thoughts]

Aku memiliki kebiasaan aneh yang mungkin terdengar obsesif terkait menonton film.

Aku suka menonton film. Ada banyak film yang ingin kutonton. Film-film ini adalah film yang kuketahui berdasarkan riset kecil-kecilan yang kulakukan terkait genre dan topik yang kusuka. Aku mengetahui premis dari setiap film dalam list ini dan alasan mengapa mereka menarik untukku. Aku bisa saja menonton mereka sekali jalan jika aku ingin, tetapi sering kali bahkan ketika aku memiliki waktu luang untuk menonton satu atau dua film, aku tidak menonton apapun. Aku memilih menunggu. Untuk apa? Untuk waktu yang tepat. Kalau ditanya kapan waktu yang tepat, aku yakin kamu akan lebih terheran-heran mendengar jawabanku karena aku juga tidak tahu. Aku hanya menunggu. Sebelum waktu itu datang, aku ingin mempersiapkan diri. Biasanya aku suka menargetkan untuk menonton film ketika aku berada dalam kondisi terbaik sehingga aku bisa benar-benar menghayati film itu nantinya. Hal ini juga tidak terbatas pada aktivitas menonton film — aku sering menunggu banyak hal.

Sekarang kamu pasti menyadari betapa perfeksionisnya aku, haha.

Meskipun aku chronically perfectionist, sering kali waktu yang tepat ini datang di saat aku tidak berada dalam situasi yang baik.

Jadi, apa yang menggerakkanku untuk akhirnya menonton adaptasi novel terkenal yang ditulis oleh asisten Anna Wintour yang terdahulu?

Depresi.

Iya, depresi. Atau dalam kata lain, hasrat untuk menerima stimulus emosional yang disebabkan oleh ketidakmampuan untuk merasakan apapun.

Aku menonton The Devil Wears Prada dengan harapan untuk dapat merasakan sesuatu. Yah, sebenarnya tidak harus film itu juga. Kebetulan sebelumnya aku menonton video Youtube membahas film itu yang juga kebetulan ada di beranda Youtubeku.

Lalu, apakah The Devil Wears Prada berhasil memenuhi harapanku?

Yes.

Aku menangis. Aku merasakan sesuatu. Dan sekarang aku ingin berbicara tentang sesuatu itu.

Ketika segalanya mulai terasa tak tertahankan, keinginan awal kita adalah untuk mengevakuasi diri dari bahaya tersebut. Yes, I’m talking about that fight or flight moment. Pilihan ini tergantung masing-masing individu.

Aku tidak memiliki kepantasan untuk mengevaluasi pun juga aku tidak memiliki preferensi. Yang jelas aku tahu bahwa setiap aku menghadapi masalah, aku membutuhkan waktu yang lama untuk menemukan jawaban dari permasalahan itu. Meskipun di sisi lain, aku juga sering memiliki keinginan untuk melarikan diri atau berhenti.

There are times when we just want to quit.

Ada banyak momen dimana kita hanya ingin berhenti. Entah berhenti kerja, berhenti sekolah, berhenti dari suatu hubungan, atau bahkan berhenti menjalani kehidupan. Aku tahu mungkin yang seperti ini bukan hanya aku. In my case, I want to quit my life.

For these past few months, akhirnya setelah menerima banyak tekanan, menempuh hardships, dan mencicipi kegagalan, aku menyadari betapa aku benar-benar-benar lelah. Awalnya kupikir ini akan berlangsung sementara. Sebentar saja, nanti aku juga akan baik-baik seperti semula.

Namun, aku salah duga.

Semua melangkah begitu cepat hingga aku tidak tahu dimana harus berpijak dan kemana aku perlu menjejak. Rasanya seperti punya mata, tapi buta. Seperti punya telinga, tapi tuli. Punya lidah, tapi yang mampu dirasa hanya hambar. Punya raga, tapi jiwa hanya ingin mati saja. Tidak ingin pun hidup terasa susah luar biasa.

It’s like having your life force is being sucked out of you.

Untuk hidup butuh bangun tidur, tapi hidup terasa seperti mimpi buruk dan tidur adalah hidup. Butuh makan, tapi tidak ingin. Makan, tapi dikeluarkan kembali. Perlu kuliah dan mengerjakan tugas, konsentrasi hilang sementara pikiran depresif dan rasa cemas muncul berulang-ulang. Perlu menghadiri kegiatan dan bersosialisasi, tapi hanya bisa mengenakan wajah melankolis, menahan keinginan untuk mati juga tangis. Bahkan untuk hal-hal yang bukan kewajiban pun keperluan terasa susah untuk dijalankan. Aku cukup bersemangat untuk membangun karir di masa depan, aku antusias untuk berbagi cerita melalui tulisan di blog atau foto-foto di Instagram story, aku gemar melihat langit dan cuaca yang indah, koleksi pameran dan museum, juga arsitektur dan desain interior yang cantik; tidak lagi. Tidak lagi.

Tidak ada yang terasa selain sedih, benci, dan kecewa. Aku hanya ingin berhenti. Aku ingin mati. I want to gouge my heart out of my chest because of the excruciating pain I feel every time I try to do something I used to love, especially writing. I loathe myself. I want to smash my head onto the wall. I want to punch my face until it bleeds. I think about ways to kill myself. Aku menangis karena aku depresi. Aku depresi karena aku menangis. Aku merasa buruk karena tidak bisa menyamakan energiku dengan sekitar. Aku tidak bisa menyamakan energi dan aku merasa buruk karena I stick out like a sore thumb. Aku membuat skenario dimana aku jatuh dari jembatan, tertabrak kereta, atau kecelakaan apapun yang dapat mengantarkanku pada kematian. I’m so sick of myself and my life I want to put an end to everything.

Yet here I am.

Still alive, still depressed, still trying to write with this damn dysfunctional mind and body.

The difference is now I’m willing and ready to talk.

Setelah menonton The Devil Wears Prada, aku menghabiskan waktuku merenungi situasi yang Andy hadapi dalam film. Andy is an aspiring journalist yang tidak tahu banyak tentang dunia fashion. Dalam usaha membangun karirnya, pertama-tama ia membutuhkan pengalaman kerja. She desperately needs a job and that’s where Miranda and her Runway chariot comes. Dunia kerja yang asing; bos yang dingin, highly demanding, dan manipulatif; teman dan kekasih yang tidak terlalu srek dengan pekerjaan barunya; Andy berkali-kali mengekspresikan keinginannya untuk berhenti kerja akan tetapi ia selalu kembali. Hingga pada akhirnya, setelah ia berhasil mencapai puncak karir sebagai asisten yang dapat berdiri di posisi yang setara di sebelah Miranda, Andy memutuskan untuk berhenti.

Yang menggangguku bukanlah perihal problem alienasi dan relasional yang Andy hadapi dengan dirinya atau orang-orang di sekitarnya. What bothers me about her and her story is something else. Sesuatu ini berhasil membuatku menyusuri profil Mediumku, membaca beberapa tulisan terdahuluku, dan menyadari frekuensi unggahanku yang sempat cukup tinggi karena challenge yang kubuat untuk diriku sendiri agar mampu menulis rutin selama sebulan sepanjang Juni ke Juli 2022. It’s simple yet greater than the things I’ve mentioned before, something I wish I could have, and that is courage.

I see courage in my past writings.

Memangnya tulisanku yang dulu itu tentang apa?

Well, they’re not much. They’re not difficult to read. Kinda easy since they’re not formal scientific writings. They don’t contain brilliant and extravagant novel ideas. They’re just the typical journal kind of essay you can read to kill some time.

So what’s courageous about them?

You see, we’re used to see the surface of everything we forgot to see past the surface and realize what’s sitting on the depth.

What makes me see courage in them is the fact that I had the ability and the will to write every single day no matter how bad and blank I were that day.

Hari-hari dimana aku menulis tulisan-tulisanku terdahulu adalah hari-hari yang tidak lepas dari sakit dan sedih. Ada hari-hari dimana aku tidak tahu apa yang perlu kutulis. Ada hari dimana aku tidak ingin menulis apapun. Ada hari dimana menulis terasa menyesakkan. Tapi aku tetap menulis.

That courage, the kind of courage to take a step despite how hard it is to take one because of the burden of the past and the uncertainty of the future, the courage to have faith and be hopeful; that’s what I find amazing yet also heartbreaking.

“I wish I could be my old self again.”

Ketika kalimat itu tanpa sengaja terucap dari bibirku, aku bertanya pada diriku sendiri.

Aku benci diriku sendiri sampai ingin mati, omong kosong apa yang baru saja kuucap?

Bukannya selama ini tidak ada sedikitpun kebaikan dalam diriku? Bukannya aku tidak pantas menerima kebaikan? Bukannya aku lebih pantas mati dibanding hidup? Lantas apa hal yang membuatku ingin kembali?

Mengapa aku menangis? Film ini bahkan tidak menyedihkan. Untuk apa aku menangis?

Apa rasa sakit di dada ini? Akhir-akhir ini aku tidak mampu merasa, mengapa sekarang tiba-tiba?

Saat itu aku pun sadar bahwa sama seperti aku yang tidak bisa melihat tulisanku hanya pada permukaannya saja, aku juga tidak bisa hanya mendengar diriku dari sisi yang paling mudah kuterima saat itu.

Jauh di antara gumaman pribadi yang depresi dan ingin mati, jauh dalam hati kecilku yang sering kuabaikan, ada bisikan lirih yang begitu putus asa dan perih.

Aku ingin hidup.

Aku tidak tahu siapa yang menyangkal siapa. Aku yang ingin mati menyangkal aku yang ingin hidup atau sebaliknya. Aku juga tidak tahu lebih menyedihkan yang mana: menginginkan kematian saat masih hidup atau merindukan hidup saat tinggal sejengkal dari kematian. Aku sedih karena ingin mati, tapi sepertinya semua terasa lebih perih ketika aku masih mengharapkan hidup bahkan di saat merasa tidak mampu untuk hidup.

Even now, I still feel reluctant to speak about it. Aku takut keinginan untuk hidup ini akan menguap segera setelah kuucap.

Tanpa menjawab setiap tanya yang ada di kepala, malam terakhir di tahun 2022 kututup dengan air mata.

--

--