Recollecting: Love

Chan
4 min readFeb 13, 2023

Aku percaya bahwa setiap hari adalah hari yang tepat untuk berbagi kasih sayang. Hanya saja, aku sengaja baru mengunggah tulisan ini di hari ini karena aku berniat mendedikasikannya sebagai refleksi pribadi tentang bagaimana kasih senantiasa menyelamatkan diriku dan bagaimana aku berharap untuk bisa mengusahakannya.

Dengan ini kukirimkan segenap cinta kepada teman-teman yang meluangkan waktunya untuk membaca. Semoga kita bisa bersama-sama mengusahakan kasih untuk sesama maupun untuk diri kita sendiri.

[Trigger Warning: depression, mental ilness, suicidal thoughts]

Tulisan ini bersama dengan tulisan yang sebelumnya pertama kutulis di awal Januari 2023, di masa-masa keinginanku untuk menyudahi segalanya begitu memuncak di tengah masa pengobatanku.

Seperti yang sudah-sudah, tidak banyak yang dapat kurasa. UAS dan tugas menggunung, tapi tidak sedikitpun peduli dan panik tersisa dalam diri. Teman-temanku pulang ke pelukan rumah masing-masing menyisakan aku sendirian di kosan. Kuhabiskan hari-hariku berbaring dengan kepala yang penuh dan dada yang kosong. Sesekali aku menulis, sesekali aku bertemu orang lain, tapi pada akhirnya aku tetap sama.

Terkecuali ketika orang lain berkata bahwa ada banyak hal menyenangkan yang dapat kunikmati di dunia, ada satu yang dapat kurasa: frustrasi. Aku tidak tahu aku kesal padanya atau pada diriku sendiri karena sekali lagi, aku bukan tidak bahagia. Aku tidak bisa.

Aku tahu ada banyak hal menyenangkan di dunia ini. Aku juga pernah bahagia. Namun, ada perbedaan yang sangat besar antara mengetahui dan menghayati. Percayalah aku pernah melakukan pencarian di internet tentang hal-hal yang dapat membuat seseorang bahagia semata-mata karena aku seputus asa itu untuk bisa merasa.

Selain persoalan bahagia, beberapa kali aku juga bertanya-tanya perihal cinta. Orang-orang sering berkata padaku agar aku lebih mencintai diriku sendiri, tetapi aku tidak mengerti. Bagiku, mencintai orang-orang di sekitarku lebih mudah dibanding mencintai diri sendiri. Mencintai diri sendiri adalah gagasan yang asing untukku.

Bagaimana seseorang mencintai dirinya sendiri?

Bagaimana seseorang memberi tahu dirinya sendiri bahwa ia cinta?

Aku merasa kesulitan karena kupikir aku lebih pantas dibenci dibanding dicintai.

Aku sering berpikir demikian, akan tetapi kali ini aku akan mencoba untuk berterus terang. Sejujurnya, aku juga ingin dicintai. Aku ingin mengusahakan itu. Akan tetapi, aku tidak tahu apakah orang sepertiku boleh seperti itu.

Aku tiba pada pertanyaan yang sama pada 10 Januari.

Sebelumnya, selama beberapa hari aku mencoba untuk menggerakkan diriku melakukan hal-hal yang sulit kulakukan. As you guys may already know, depression could be very debilitating. Usahaku untuk melakukan sesuatu selalu dihadang dengan pertanyaan-pertanyaan, seperti:

Untuk apa berusaha? Toh juga tidak ada gunanya.

Biarlah gagal. Bukannya tidak ada bedanya jika pada akhirnya mati?

Aku tinggal sejengkal dari pilihan untuk menyerah ketika tiba-tiba segalanya meluap. Hati kecilku seperti berteriak bahwa bukan menyerah yang ia inginkan. Menangis, ia bertanya apakah ia masih diperbolehkan untuk berusaha.

I want to try, but am I allowed to? Would people be okay if I do? Is it alright for someone like me to be given a new chance?

Aku yang terbiasa untuk bertanya pada diri sendiri, berpikir sendiri, menjawab pertanyaan sendiri pun hari itu mencoba untuk bertanya pada orang lain. Aku bertanya pada Rani.

Begini jawabannya.

Rasanya menyakitkan.

It hurts when you’re on the verge of giving up but you receive love so powerful yet so gentle it makes you feel hugged when you think you don’t deserve to be hugged at all.

Jawaban Rani mengingatkanku tentang hal lain yang juga terkubur bersama keinginanku untuk hidup.

I want to be loved.

As much as I want to deny this desire, deep down in my heart I know what I really wish for and what I really need of.

I don’t want to be loathed, I wish to be loved.

I don’t want to be yelled at, I want to be scolded with kindness.

I don’t want to be stabbed, slapped, or kicked, I yearn to be forgiven and hugged.

I’m longing to be loved fiercely. The kind of love that will still love you despite how bad you do. The kind of love that won’t hesitate to hug you when you and your world think you don’t deserve to. The kind of love that will remain kind when you can’t even be kind towards yourself.

I wish I could give this kind of love to myself.

Sampai saat ini, aku masih belum tahu pasti konsep mencintai diri sendiri itu seperti apa. Aku masih belum tahu bagaimana baiknya aku perlu mengekspresikan kasih sayang kepada diriku sendiri.

Namun, seperti kata Faiz entah kapan dia mengucapkannya tapi aku ingat betul kata-katanya, kita tidak harus tahu. Aku akan mengimani kata-katanya sembari mengamini keinginanku. Setidaknya, aku bisa memulai perjalanan ini dengan mencoba untuk melakukan sesuatu untuk dan karena diriku sendiri.

--

--