Sihir Sepiring Makanan Hangat

Chan
3 min readNov 22, 2023
sumber Unsplash

Jam menunjukkan pukul setengah dua pagi.

Seperti biasa, aku belum tidur. Aku sedang membaca manga yang misterinya terlalu seru untuk tidak dihabiskan dalam sekali baca. Dan seperti biasa, pikiran yang gemar mengembara ini membawa pulang ingatan bahwa ada lauk yang masih tersimpan di kulkas. Cemas masakan yang temanku beri dengan cuma-cuma itu keburu berubah rasa, aku pun bangun dari rebahku.

Kubuka paket beras yang dikirim ibu. Terdiam, aku tak lagi ingat kapan terakhir kali aku menyentuh butir-butirnya. Kutuang mereka ke dalam wadah lantas kuambil setengah cangkirnya untuk kemudian kucuci dengan teliti. Setelahnya, kurang lebih sama seperti rutinitas orang menanak nasi pada umumnya.

Setelah tanak, aku pun mengambil sepiring nasi dan pergi ke dapur untuk menghangatkan lauk. Aroma wanginya masih sama. Setelah kucicipi pun rasanya tidak berubah. Masih sama lezatnya.

Entah malas bolak-balik kamar-dapur untuk mencuci piring atau sudah terlampau lapar, kunikmati makan malam-yang-terlalu-larut-untuk-dikatakan-makan-malam-ku di dapur.

Malam itu sepi. Aku hanya sendiri. Satu-satunya yang tidak sepi dan sendiri adalah apapun yang ada di dalam diriku.

Ada suatu perasaan aneh yang menyeruak dari dada, mencari jalan menuju kepala, dan menemukan jalan keluarnya pada kedua mata.

Bukan, aku bukan menangis karena aku sendirian. Bukan pula karena aku merasa menyedihkan dan buruk atau semacamnya — yah, biasanya memang karena itu.

Kali ini, aku meneteskan air mata karena merasa penuh.

Di dunia ini, ada orang-orang yang bernafas sembari mengangkut perasaan bersalah, benci, dan segala yang ada diantaranya. Begitupula denganku. Orang lain mungkin meredakan dirinya dengan mengonsumsi makanan dalam jumlah besar, tetapi tidak denganku. Jika mungkin, aku ingin berhenti mengonsumsi apapun.

Makanan, menurutku, adalah sumber energi untuk melanjutkan hidup. Aku tidak pantas menerimanya. Makanan, dalam kesempatan lain, merupakan bentuk apresiasi. Orang sepertiku tidak pantas menerimanya. Makanan adalah rezeki yang diberikan Semesta. Aku yang seperti ini tidak pantas menerimanya.

Ada banyak hari yang kuhabiskan tanpa mengonsumsi apapun selain air. Pusing dan lemas adalah sesuatu yang biasa. Asam lambung naik atau luka lambung juga normal. Aku sudah memprediksinya. Misal dampaknya sedikit lebih parah dari itu pun aku masih berkenan. Karena aku pantas menerimanya.

Mungkin di titik ini kamu sedikitnya sudah memiliki tebakan tentang bagaimana hubunganku dengan makanan. Tidak pernah kukatakan ini pada siapapun sebelumnya, tapi aku akan menepati janjiku untuk menulis dengan penuh keterusterangan.

Tadi sempat kukatakan bahwa makanan adalah bentuk penghargaan, maka, sebaliknya, bagiku ketiadaan makanan merupakan hukuman. Hukuman yang mampu meredakan berbagai perasaan berat dan pikiran brutal yang tidak terkatakan.

Akan tetapi, hidup senantiasa berjalan dan aku perlu mengikuti alurnya. Pada akhirnya, aku tetap makan. Tidak rutin, yang penting cukup untuk mengerjakan apa yang perlu kukerjakan dalam keseharianku. Itu pun biasanya aku memesan makanan atau makan di luar dibanding menyiapkannya sendiri.

Usaha untuk menyiapkan makanan sendiri, mulai dari membeli bahan makanan, menanak nasi dan memasak lauk atau bahkan sekadar menghangatkannya, hingga menata porsi dan tampilan visualnya — semua adalah hal yang dapat seseorang lakukan apabila mereka cukup peduli pada dirinya sendiri.

Dan aku tidak seperti itu.

Sebab itu, ketika pada akhirnya momentum seperti ini tiba, aku tidak kuasa menahan diri karena aku tahu apa yang ada di dalam sepiring makanan itu.

Di dalamnya, ada aku yang akhirnya mau dan mampu meluangkan energi dan peduli untuk mengusahakan sesuatu demi diriku sendiri.

Bagiku, sepiring makanan hangat lebih dari sekedar makanan. Ia adalah kasih. Ia adalah penerimaan. Ia adalah pengampunan. Bahwa terlepas dari segala salah, alpa, dan payahku, aku masihlah pantas menerima yang baik dan lembut.

Lebih dari itu, ia adalah harapan. Bahwa terlepas dari apa yang ada di masa lalu, masih ada kesempatan untuk memulai hal baru dan menjadi lebih baik di masa depan. Ia adalah doa yang menguatkan supaya aku tidak berhenti sebelum melihat apa yang sebenarnya selama ini Semesta rencanakan untukku.

Oleh karena itu, sudahkah kamu menikmati sepiring makanan hangat hari ini?

Aku berterima kasih pada Demar yang begitu pandai memasak dan Alya yang sudah berbaik hati mengantarkan masakan Demar padaku, sebab kalau bukan karena mereka maka aku tidak akan merasakan apalagi menuliskan ini semua.

--

--