Yang Dibiarkan Tidak Terkatakan

Chan
4 min readFeb 26, 2024

Kita bertemu lagi tadi malam.

Kuabaikan kamu selama beberapa saat. Tidak sengaja. Aku tidak melihatmu dengan cukup jelas karena kacamata yang kugunakan adalah kacamata lama. Namun, aku tidak akan meminta maaf karena sedikitnya kacamata ini telah membantuku untuk tidak benar-benar berhadapan denganmu.

Sejujurnya, aku sedikit kesulitan karena sejak duduk di sisimu mataku terasa perih dan rasanya aku ingin menangis.

Dengan penglihatanku yang terbatas, kulihat kamu baik-baik saja. Setidaknya fisikmu berkata demikian. Karena aku tahu, pada menit-menit tertentu rasa frustrasimu melonjak menghadapi aku yang menghadapimu dengan kesabaran yang sudah kadaluwarsa.

Aku juga pernah sepertimu.

Beberapa kali kusampaikan posisiku. Berkali-kali kamu sampaikan maafmu. Beberapa kali kubalas kamu dengan nada tinggi. Berkali-kali kamu memintaku untuk menurunkan tensi. Berkali-kali kamu mencoba mengembalikan kita menjadi seperti biasa.

Sepertinya kamu tidak memahami ketakutanku.

Kutanyakan apa yang biasa bagimu dan kamu mengembalikan pertanyaan itu padaku.

Aku tahu kamu tahu tapi tidak ingin mengatakannya.

Kukatakan aku hanya ingin menjadi temanmu lalu kamu buru-buru mengatakan bahwa sebelumnya pun kita adalah teman.

Lantas kutanyakan padamu,

Teman macam apa yang yang memanggil temannya dengan tatapan seperti itu?

Kamu diam membisu.

Aku tersenyum mengetahui kalimatku tepat mengenaimu.

Mengertikah kamu apa yang kumau?

Perjalanan kita sempat kehilangan arah, tapi kamu masih pantang menyerah. Beberapa kali tanganmu menunggu, merindukan aku untuk luruh dalam genggamanmu. Aku menolak.

Apa yang semakin digenggam akan semakin sulit dilepaskan.

Perlahan kamu mulai lelah. Aku juga tidak pernah berharap bahwa bertemu bisa mengubah apapun. Aku masihlah sama, kamu pun juga.

Kamu berusaha mencairkan suasana dan, seperti biasa, kubuat semuanya beku seperti sediakala. Dalam keheningan itu, aku tahu kamu terluka. Kuhela nafas panjang dan kubiarkan kamu mengantarku ke tempat awal kita bersua.

Tanpa kata maaf, aku pergi meninggalkanmu seperti tidak terjadi apa-apa.

Ada suatu keengganan dalam diriku untuk meminta maaf setelah dengan sengaja menyakiti orang lain.

Aku paham betul seberapa sabar seseorang, tapi aku tidak pernah berharap mereka akan tetap sabar padaku. Aku sulit bersabar dan sulit memaafkan diriku sendiri. Aku lebih paham rasanya tidak dimaafkan dibanding dimaafkan. Aku takut dimaafkan hanya untuk mengecewakan mereka kembali.

Aku tidak ingin meminta maaf karena aku tidak ingin, semisal itu terjadi, aku terlihat mempermainkan maaf yang mereka beri. Sebab, tidak jarang permohonan maaf dijadikan sebagai bentuk lain dari permohonan izin untuk menyakiti lagi di masa yang akan datang.

Dan aku tidak ingin seperti itu.

Tanpa kata maaf, aku harap dengan ini kamu bisa lebih mudah melupakan semua yang pernah terjadi dan terkatakan di antara kita — seperti yang pernah kamu minta.

--

--